Komunitas Sablon Diponorogo Bersaing Positif Dengan Produk
Luar Daerah
Berkumpul
dan sharing dengan orang yang pekerjaannya sama adalah salah satu langkah jitu
mengembangkan diri. Hal itu disadari Komunitas Sablon Ponorogo. Komunitas
berisikan pengusaha sablon kecil yang ingin saling berbagi informasi agar
menjadi besar.
Sebab,
saat ini banyak kaus dengan nilai lokal khas Ponorogo diproduksi luar daerah.
MIZAN AHSANI, Ponorogo
Belasan kaos hitam terpajang di salah satu stan saat gelaran Festival
Ponorogo Tempo Doeloe di warung kopi Wakoka, Ronowijayan, Siman beberapa hari
lalu. Menariknya, desain kaus-kaus itu punya nilai lokal khas Ponorogo.
Ada yang bergambar reyog, ada pula bergambar
warok. Selain itu, juga ada yang bertuliskan kalimat-kalimat Jawa. Kaus-kaus
itu bikinan pengusaha sablon yang tergabung dalam Komunitas Sablon Ponorogo.
Aslan
Chumaidi, Ketua Komunitas Sablon Ponorogo mengatakan, komunitasnya itu tertutup
untuk umum alias khusus pengusaha sablon.
Komunitasnya
hanya beranggotakan 27 pengusaha sablon di Ponorogo yang satu generasi dengan
Aslan. Dia mengatakan, Komunitas Sablon Ponorogo dibentuk awal 2016 dengan
kopdar pertama pada Februari lalu.
Intinya, Aslan ingin mengumpulkan teman-teman
yang memiliki usaha sama untuk berbagi ilmu dan wawasan sehingga semua bisa
memperbaiki diri. ‘’Jadi sablon itu bukan hanya begini-begini saja,’’ ujarnya.
Kopdar
resmi komunitas dilakukan sebulan sekali. Namun diluar itu, kumpul-kumpul terus
dilakukan. Hanya saja tidak full team. Soal desain, komunitas tidak
mengatur hal itu. Masing-masing bebas mendesain produk sablonnya.
‘’Ada yang fokus dengan desain reyog, ada pula
yang produknya khusus ke kalimat-kalimat bijak bahasa Jawa,’’ terangnya.
Mulanya,
Aslan banyak belajar seputar sablon di Jogjakarta. Aslan melihat pengusaha
sablon di sana bisa menghasilkan kaus dengan muatan nilai lokal sebagai produk
unggulan.
Sementara
di Ponorogo, saat ini justru produk sablon seperti kaus dengan nilai lokal
diproduksi oleh pengusaha dari luar daerah. Sebut saja Solo, Blitar dan Malang.
‘’Sebab di Ponorogo yang mampu memproduksi sebaik kualitas dan kuantitas yang
dari daerah luar itu belum ada,’’ terangnya.
Jika
pun ada, kebanyakan pengusaha sablon lokal memilih untuk memproduksi terbatas
dan tidak diproduksi masal. Berangkat dari persoalan tersebut, dia pun mulai
terpikir jika daerah lain saja bisa kenapa pengusaha sablon Ponorogo tidak. Dia
lantas mengumpulkan temannya dan mengajak membentuk komunitas. ‘’Ide untuk
membuat komunitas itu muncul sejak 2013, baru terealisasi awal tahun ini,’’
sebutnya.
Berbekal
mengikuti sejumlah komunitas sablon di berbagai daerah seperti Jogjakarta,
Madiun, Kediri, dan Tulungagung, Aslan mengadopsi cara kerja mereka ke komunitasnya.
Satu
yang paling utama, berbagi informasi. Mulai dari teknik, trik menyablon, sampai
jurus jitu pemasaran. Dari saling berbagi informasi tersebut, harapannya
masing-masing pengusaha saling meningkatkan kualitasnya. ‘’Sehingga ke depan,
seluruh anggota punya standar dan kualitas produk yang sama tingginya. Namun,
tetap saling bahu membahu dalam hal promosi,’’ jelasnya.
Aslan
menjelaskan, masing-masing anggota sudah punya usaha sablon sendiri. Rata-rata,
mereka pengusaha sablon yang menerima pesanan. Artinya, mereka hanya
berproduksi jika ada yang memesan.
Pun, produksi juga masih dalam skala rumahan.
Namun, juga ada pengusaha yang skala produksinya sudah cukup besar dan sudah
menghasilkan produk sendiri. ‘’Sudah ada yang memang fokus menjual produknya
sendiri,’’ ujarnya.
Dalam
event Festival Ponorogo Tempo Doeloe yang digelar beberapa waktu lalu, bupati
Ipong Muchlissoni sempat memuji Komunitas Sablon Ponorogo. Dia juga
mengutarakan dukungannya terhadap komunitas tersebut.
Menurut Ipong, pemuda-pemuda dalam komunitas
tersebut terbilang kreatif lantaran memasarkan produk berupa kaus dengan
nilai-nilai lokal Ponorogo. Mendapat dorongan moril tersebut, Aslan menyebut
saat ini dia dan komunitasnya mulai memberanikan meningkatkan jumlah produksi.
Hanya,
kendala yang kemudian ditemui adalah pesaing dari luar daerah. Pengusaha sablon
dari luar daerah tersebut kebanyakan berskala besar.
Mereka
sudah bisa memproduksi ribuan kaus, sehingga harga jual bisa ditekan lebih
murah. Sementara, komunitas Aslan saat ini rata-rata hanya mampu memproduksi di
kisaran puluhan hingga ratusan kaus. Pun, desainnya kurang pasaran. ‘’Kecuali
memproduksi satu desain yang sama dan diproduksi dalam jumlah sampai ribuan.
Namun, memproduksi sebanyak itu tentu terkendala modal,’’ sebutnya.
Ya,
kendala selanjutnya yang dihadapi oleh Aslan dan teman-temannya adalah modal.
Kebanyakan pemula. Modal mereka belum terlalu besar.
Jika
menerima pesanan dalam jumlah besar, uang muka pemesanan itu yang digunakan
menyokong produksi. Nah, jika uang muka yang disodorkan kecil, belum tentu
pengusaha sablon kuat berproduksi. ‘’Pertimbangannya kan jumlah pekerjanya
juga,’’ terangnya.
Namun
demikian, Aslan optimistis pengusaha sablon di Ponorogo berkembang. Potensi
pemasaran hingga luar negeri pun terbuka lebar melalui banyaknya TKI yang
bekerja di negeri rantau.
Selain
itu, saat ini fasilitas pemodalan juga sudah ada cukup banyak, khususnya UMKM.
Dengan adanya komunitas tersebut, diharapkan mampu menjadi wadah yang bisa
menciptakan solusi bagi pengusaha. ‘’Tentunya untuk kebaikan dan perkembangan
usaha sablon di Ponorogo,’
SOURCE;RADARMADIUN