“Ngebel Berstatus Siaga Bencana”
Peta95.blogspot.com-Bencana
seakan mengepung bumi reyog. Desa Talun, Ngebel kini berstatus siaga bencana
lantaran terdapat retakan tanah yang sewaktu-waktu mengancam permukiman. Dan
saat ini, retakan tanah lebih parah juga di Kecamatan Slahung tepatnya di Dusun
Krajan, Desa Tugurejo. Retakan tanah bahkan sudah berdampak ke rumah-rumah
penduduk. Mereka cemas lantaran tidak tahu hendak mengungsi kemana.
Lasno, salah seorang
warga Krajan mengaku rumahnya rusak akibat pergerakan tanah. Retakan terlihat
di dinding, lantai rumah juga ambles. Padahal, lantai rumah Lasno sebelumnya
sudah dicor pasca longsor 2014 lalu. ‘’Kalau tidak saya cor ya satu rumah ini ambles,’’
katanya, kemarin (21/4).
Menurutnya, retakan
di rumahnya itu muncul Senin (18/4) lalunyaris bersamaan dengan peristiwa di
Talun, Ngebel. Kejadian sekitar pukul 19.00 dan saat itu hujan deras mengguyur.
Tiba-tibaterdengar suara gemuruh dan rumahnya terasa bergetar. Asal muasal
suara berasal dari belakang rumah dan jalan desa. ‘’Setelah dicek, ternyata
tanahnya turun,’’ tambahnya.
Benar saja, jalan
desa yang menanjak di sebelah kanan rumahnya retak dan turun sekitar sepuluh
sentimeter. Sementara, retakan tersebut memanjang ke arah belakang rumahnya. Di
belakang rumah Lasno lebih parah lagi. Tanah yang ambles akibat retakan
mencapai sekitar 50 sentimeter. Begitu mengetahui rumahnya tidak aman, Lasno
langsung mengajak lima anggota keluarganya mengungsi ke rumah kerabat. ‘’Saat
itu juga saya langsung mengajak keluarga menyelamatkan diri ke rumah
kakak saya,’’ tutur Lasno.
Dijelaskan, hanya
beberapa tetangganya yang ikut mengungsi. Kebanyakan masih bertahan di rumah
karena tidak tahu hendak kemana. Salah satunya adalah Murnani. Dia yang hidup
bersama enam anggota keluarganya bingung dan diliputi rasa takut.
Pasalnya, rumah
Murnani juga tidak jauh berbeda. Dindingnya retak dan di beberapa titik lantai
ambles. Murnani menceritakan, salah satu retakan di dinding rumahnya baru saja
ditambal. Namun tidak lama berselang, muncul retakan lagi dan jauh lebih besar.
‘’Kalau hujan turun yang kami rasakan hanya ketakutan,’’ terangnya.
Selain itu, kala
hujan turun Murnani juga bingung. Pasalnya, dia tidak tahu hendak menyelamatkan
diri kemana. Alhasil setiap hujan, dia dan keluarganya hanya berdiam dan terus
berdoa di dalam rumah dalam kondisi waswas. Pun, dia juga merasa berat harus
meninggakan rumahnya. ‘’Kalau memang solusinya relokasi, kami mau saja. Namun
kalau bisa ya bertahan,’’ ujarnya.
Kerusakan terparah
terjadi di rumah Wasono. Rumah Wasono tidak terlalu jauh dari Murnani. Namun,
lebar retakan di dinding rumahnya mencapai 15 sentimeter. Dindingnya
benar-benar berlubang karena retakan itu. Pun, retakan di dinding lebih dari
satu. Tidak hanya itu, lantai rumahnya juga terangkat hingga salah satu pintu
rumahnya tidak bisa dibuka. Yang terparah, salah satu tiang pondasi rumahnya
terlepas. ‘’Kerusakan sudah lebih dari 50 persen,’’ katanya.
Wasono mengatakan,
kerusakan di rumahnya terjadi Selasa dini hari. Dia dan lima anggota
keluarganya tengah terlelap. Tiba-tiba rumahnya seakan ambruk, suara retakan
yang ditimbulkan begitu keras. Sontak Wasono langsung membangunkan keluarganya
dan kalang kabut keluar rumah. Mereka menunggu di luar rumah, begitu dirasa
aman lalu kembali masuk. Keluarga Wasono terus bertahan hingga saat ini.
‘’Memang riskan, namun mau dimana lagi kami tinggal. Yang penting selalu
siaga,’’ terangnya.
Sementara itu, Kasun
Krajan Mujianto menjelaskan total rumah yang terdampak akibat pergerakan tanah
mencapai 29 unit dan 33 kepala keluarga (KK). Retakan-retakan mulai dari yang
berukuran kecil hingga separah rumah Wasono. Hingga saat ini, warga bertahan di
rumah masing-masing. Mereka baru mengungsi ketika hujan lebat. Pun, tidak
seluruh warga mau mengungsi. ‘’Sebab sejauh ini jujukan mengungsi ya baru
rumah-rumah kerabat,’’ ungkapnya.
Dia menjelaskan,
pergerakan tanah di dusunnya kerap terjadi. Terutama, ketika musim hujan. Pun,
terjadinya bencana longsor tahun 2014 lalu juga sudah membuat tim Badan
Mitigasi Vulkanologi dan Geologi (BMVG) Bandung turun ke Slahung untuk
penelitian. Hanya, hingga saat ini pihak desa mengaku belum mengetahui hasil
penelitian tersebut. ‘’Tanah disini bergerak dan membahayakan warga. Selain
rumah, tempat ibadah dan jalan juga terdampak. Sementara, instruksi mengenai
tujuan dan teknis pengungsian juga belum ada,’’ jelasnya.
Sumber;radarmadiun
Lihat Berita lainnya;peta95.blogspot.com