Inilah potret pendidikan di Ponorogo. Kisah Bunga, bocah
dari keluarga tunagrahita
Matahari sedang
terik, debu berhamburan di jalanan kampung Desa Karangpatihan, Kecamatan
Balong, Ponorogo, Selasa (24/5/2016). Terlihat hanya ada beberapa orang
beraktivitas di luar rumah di kampung yang akrab dikenal sebagai kampung
tunagrahita itu.
Misidi, 40, mengalami keterbelakangan mental. Dia penyandang
tunagrahita di desa itu beraktivitas membuat tusuk sate di halaman rumahnya
siang itu. Misidi merupakan salah satu dari delapan laki-laki penderita
tunagrahita yang menikah dan telah memiliki anak.
Misidi dan
Boini yang merupakan pasangan suami istri dengan latar belakang penderita
tunagrahita ini dianugerahi dua orang anak perempuan. Meski keduanya menderita
tunagrahita, tetapi kedua anak pasangan itu terlahir normal. Dua anak mereka
yaitu Bunga Lestari yang berusia tujuh tahun dan Deswita Pertiwi yang berusia
tiga tahun.
Saat Misidi
membuat tusuk sate, anaknya Bunga Lestari yang akrab dipanggil Bunga sedang
belajar di dalam rumah. Bunga belajar membaca dan menulis di dipan yang ada di
rumahnya.
Rumah mereka
bisa dikatakan rumah tidak layak huni, dinding rumah keluarga tunagrahita itu
hanya terbuat dari anyaman bambu, tembok, dan papan kayu yang telah terlihat
usang. Lantai rumah masih tanah dengan kondisi ruangan lembab.
Tidak ada kamar
tidur di rumah itu, saat masuk ke dalam langsung berada di ruang tamu yang
sekaligus sebagai tempat tidur. Sekat rumah hanya untuk memisahkan ruangan
depan dengan ruang dapur dan ruang mandi cuci kakus.
Di dalam rumah
pun, seluruh barang tidak tertata dengan rapi dan tidak ada tempat duduk
selayaknya rumah pada umumnya. Di beberapa sudut rumah, terlihat tumpukan
benda-benda yang sudah tidak terpakai dan lusuh.
Kedua anak
pasangan tunagrahita ini terlahir dalam kondisi sehat. Bunga, panggilan akrab
anak pertama pasangan tersebut kini akan masuk ke sekolah dasar. Bunga telah
menyelesaikan pendidikan di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) yang ada
di desa setempat.
Sayang Orang
Tua
Meski kedua
orang tuanya tidak bisa berbicara seperti pada umumnya, tetapi Bunga mampu
berbicara dengan baik dan lancar. Saat ditanya Madiunpos.comdengan
beberapa pertanyaan, Bunga pun menjawab semua pertanyaan dengan baik.
Bunga
mengetahui kondisi orang tuanya yang memiliki keterbelakangan mental. Bunga
sangat menyayangi kedua orangtuanya. Dia mengaku mendapatkan berbagai
pengetahuan dan dilatih berbicara serta menulis dari warga sekitar yang peduli
terhadapnya.
Dengan
keterbatasan ekonomi dan keterbatasan pengetahuan dari orang tua, justru
mendorong Bunga untuk terus semangat belajar dan membantu kondisi keluarga.
“Saya kalau sudah gede bercita-cita jadi dokter, supaya bisa merawat orang tua
dan orang yang menderita seperti kedua orang tua saya (tunagrahita),” kata dia
sambil menunjukkan hasil gambarnya.
Seusai pulang
sekolah, biasanya Bunga membantu orang tuanya membersihkan rumah sebelum
belajar ke rumah guru PAUD yang berada tidak jauh dari rumahnya atau bermain
dengan teman sebayanya. Bagi Bunga, bisa bertemu dengan orang lain dan
bercakap-cakap tentu sangat penting dan perlu untuk melatihnya dalam berbicara.
Hal ini karena di rumahnya, Bunga tidak bisa bertutur seperti dengan orang
lain.
Guru PAUD
Karangpatihan Smart, Yuliana, 28, mengatakan Bunga merupakan salah satu anak
didik yang pintar dan berprestasi. Sudah beberapa kali Bunga mengikuti
perlombaan di tingkat kabupaten.
Yuliana yang
merupakan istri Kepala Desa Karangpatihan ini mengatakan Bunga merupakan
satu-satunya siswa di PAUD Karangpatihan Smart yang berasal dari keluarga
tunagrahita. Para guru PAUD tidak membedakan pola pembelajaran kepada 30 siswa
di sekolah itu.
Namun, dia
secara pribadi memang memberikan perhatian lebih kepada Bunga. Hal ini karena
Bunga membutuhkan sesosok orang yang bisa menguatkan diri dalam menghadapi masa
depan. Selain itu, Bunga membutuhkan orang yang bisa membimbing dan bisa
memberi pelajaran.
Yuliana
menuturkan untuk kasih sayang kemungkinan kedua orang tuanya masih bisa
memberikan. Tetapi untuk kebutuhan intelektualitas anak, kedua orang tua Bunga
agak kesulitan karena kondisi yang dideritanya. Untuk itu, lingkungan sangat
penting untuk membentuk karakter Bunga.
“Selain belajar
di sekolah, biasanya Bunga beserta anak lainnya datang ke rumah saya untuk
belajar bersama. Hal semacam ini yang menurut saya penting untuk membangun diri
Bunga,” ujar dia kepada Madiunpos.com.
Lingkungan
Selain
keterampilan dalam membaca, berbicara dengan lancar pun menjadi salah satu
keterampilan yang patut dipelajari Bunga. Sejak usia tiga tahun, Bunga sudah
diasuh oleh lingkungannya dan pada usia lima tahun sudah masuk ke bangku PAUD.
Menurut dia,
ketika Bunga saat masih kecil tidak dididik dan dibesarkan lingkungan dan
tetangganya, bisa saja hingga kini Bunga kesulitan berbicara. Karena hidup di
lingkungan yang memang secara intelektualitas rendah.
“Sebenarnya di
Karangpatihan ada beberapa anak dari keluarga tunagrahita, salah satu anak ada
yang tidak sekolah dan hanya dirawat orang tuanya yang dalam kondisi
tunagrahita. Saat ini kondisinya pun susah dalam berkomunikasi apalagi menulis
dan membaca,” jelas dia.
Kedua orang tua
Bunga yang hanya bekerja secara serabutan dengan hasil tidak tentu juga menjadi
kendala tersendiri. Namun, saat ini beruntung mereka telah mendapatkan bantuan
usaha dari pemerintah berupa budidaya lele dan pembuatan tusuk sate.
Dia menuturkan
Bunga tahun ini telah selesai menjalani pendidikan di PAUD. Rencananya pada
tahun pelajaran 2016/2017 ini Bunga akan melanjutkan sekolah di Sekolah Dasar
(SD). Dia berharap di lingkungan barunya, Bunga bisa mendapatkan lingkungan
yang juga bisa membimbingnya dan menguatkannya untuk menatap masa depan.
Source;madiunpos